Selasa, 01 November 2011

Sindrom HELLP

Sindrom HELLP merupakan sing­kat­an dari Hemolysis, Elevated Liver function, dan Low Platelet count. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia de­ngan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus per­abdominam. Patogenesis sindrom HELLP masih belum jelas. Diagnosis dini sangat penting ditegakkan karena morbiditas dan mortalitas penyakit ini tergolong tinggi, sekitar 25 persen. Kadar trom­bosit yang rendah menjadi indikator yang sensitif dalam penegakan diagnosis sindrom HELLP. Uji D-dimer bisa menjadi alat identifikasi yang penting untuk me­nunjukkan tanda awal sindrom HELLP pa­da pasien preeklamsia. Terapi untuk pa­sien sindrom HELLP merupakan manajemen su­portif meliputi profilaksis kejang (eklampsia) dan kontol tekanan darah pa­da pa­sien dengan hipertensi. Pasien dengan ke­hamilan preterm dilakukan terapi konservatif, sedangkan pasien aterm me­ru­pakan indikasi untuk terminasi. Be­be­rapa pasien memerlukan transfusi produk da­rah, sebagian lagi sangat responsif de­ngan terapi kortikosteroid.

Hipertensi sejak hamil pertama
Seorang wanita hamil berusia 27 ta­hun (G2P1A0) mengeluh sesak napas satu hari sebelum ke Rumah Sakit Umum (RSU). Saat itu ia mengeluh nyeri ulu hati, namun kaki tidak bengkak, tidak nyeri ke­pala, pandangan tidak kabur, tidak keluar lendir atau darah, tidak mual, dan tidak muntah. Diduga ia telah diduga menderita sindrom HELLP oleh dokter kandungan setempat namun karena keterbatasan alat pemeriksaan, ia dirujuk ke Rumah Sa­kit Umum Pusat Nasional (RSUPN) de­ngan diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD) dari hasil USG. Di sana ia telah mendapat terapi asam traneksamat, deksametaon, ceftriaxone, digoksin, aspirin, dan regimen antihipertensi.
Karyawan pabrik yang sehari-hari bekerja di kawasan industri ini tengah hamil 25-26 minggu dan sejak awal kehamilan sang ibu sudah dinyatakan menderita ‘da­rah tinggi’ oleh dokter yang memeriksa­kan perawatan antenatal. Tekanan darahnya saat ini berkisar 130/90 mmHg (su­dah mengkonsumsi obat antihipertensi). Hari pertama haid terakhirnya sesuai de­ngan perkiraan usia kehamilan melalui USG. Ia juga telah memiliki riwayat hi­per­tensi pada kehamilannya yang pertama.

Janin telah mati
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tampak pu­cat namun tidak sesak, tekanan darah 180/110 mmHg dan suhu 36.50C. Ter­dengar bunyi jantung gallop (S4), perut mem­buncit esuai kehamilan, dan ekstre­mi­tas yang tidak edema. Pemeriksaan obs­tetri menunjukkan tinggi fundus uteri 15 cm, vulva dan uretra tenang, porsio licin, merah, tidak ada fluor albus dan fluxus. Porsio kenyal ke arah belakang de­ngan panjang 2 cm, kepala pada H1, dan protein stick menunjukkan angka +2. Pemeriksaan USG menunjukkan presen­ta­si janin kepala tunggal tanpa ada de­nyut jantung janin dan telah terdapat spalding sign. Di RSUPN ia didiagnosis ulang sebagai sindrom HELLP akibat pre­eklamsia berat (PEB).
Saat itu juga ia direncanakan untuk cek darah perifer lengkap (DPL), urinalisis lengkap (UL), gula darah sewaktu (GDS), enzim transaminase (SGOT/SGPT), dan laktat dehidrogenase (LDH) ulang. Dicek pula elektrokardiografi (EKG), asam urat, ureum, kreatinin, albumin, elektrolit, fibri­nogen, dan d-dimer. Perawatannya terpa­du antara dokter obstetri ginekologi de­ngan konsultasi dokter kardiologi dan dok­ter mata.
Rencana terapi yang utama ialah ter­mi­nasi pervaginam untuk menghentikan hipertensi dengan perangsang misoprostol (4x50 mg) dengan folley cathether. Se­la­lu dilakukan pengawawan tanda vital dan tanda-tanda perburukan. Kepalanya diele­va­si 300 dan dimasukkan bolus MgSO4 4 gram dilanjutkan drip 1 gr/jam dalam 24 jam. Obat yang dipakai ialah ISDN 3x10 mg (dosis maksimal 80 mg) dengan selalu dilakukan pengawasan te­kanan darah ditambah vitamin C seba­nyak 2x400 mg perhari. Deksametason te­tap diberikan 10 mg dua kali sehari, serta pemberian antibiotik Amoxicillin 3x500 mg.
Usai dicek, erdapat penurunan hematokrit, leukositosis, trombositopenia, ser­ta kadar fibrinogen dan D-dimer yang tinggi. Hasil tes urin menunjukkan sedimen leukosit, eritrosit, proteinuria, dan hemoglobinuria. Hasil tes fungsi hati menun­juk­­kan peningkatan signifikan (SGOT, SGPT, dan LDH) disertai hipoalbuminemia. Hemoglobin makin hari makin turun (8,2 g/mL). Leukositosis tetap terdeteksi dalam nilai 24.000/mm3. Trombosit  terakhir 136.000/mm3. Hasil uji D-dimer me­ningkat tinggi (5,3), fibrinogen juga meningkat (642).
Setelah mengalami persalinan atas in­duksi oksitoksin secara spontan, keluar ja­nin mati (IUFD) namun etelah itu te­kanan darah masih tidak terkontrol (160/100 mmHg). Setelah ditransfusi PRC pun konjungtiva masih pucat, akral dingin, dan masih ditemukan beberapa purpura pada ekstremitas.

Vasospasme kapiler paru
Wanita yang akhirnya berstatus P2A1 ini sudah mengalami kali kedua pre­eklamsia. Pada kehamilan yang pertama bayi dapat dilahirkan spontan cukup bu­lan. Namun ka­­li kedua preeklamsia terjadi ketika usia ke­hamilan masih 24-25 ming­gu serta te­lah terdeteksi janin mati da­lam kandungan dengan pemeriksaan de­nyut jantung janin dan USG. Dengan de­mikian dilakukan terminasi pervaginam dengan induksi pros­ta­glandin-folley ka­teter dua hari SMRS di­barengi tata laksana kontrol tekanan da­rah dan pencegahan kejang. Preeklamsia yang makin be­rat terjadi pada kehamilan kedua masih tetap memungkinkan mes­ki­pun ber­da­sar­kan epidemiologi pasien tergolong di atas kurva normal. Faktor risiko preeklamsia ia­lah nullipara, gemelli, hamil dengan pa­sangan baru, keturunan pre­eklam­sia da­lam keluarga, serta berbagai penyakit me­­tabolik (DM, hipertensi, pe­nya­kit ginjal).
Datang dengan keluhan sesak napas, diduga akibat vasospasme kapiler paru. Ditatalaksana di RSU secara suportif dan sudah tidak sesak ketika dirujuk ke RSUPN. Di RSUPN diduga (masih) edema paru dan dipastikan dengan konsul kardiologi yang ternyata menunjukkan hasil tidak ada tanda-tanda gagal jantung kiri, meskipun pada saat itu tertulis di status IGD terdapat gallop pada auskultasi jantung. Sampai pemantauan terakhir masih terdengar murmur dan click sistolik yang menandakan masih adanya hipertensi.

Gejala sindrom HELLP
makin jelas
Dari awal datang tidak mengeluh ada­nya kelainan frekuensi BAK dan BAB. Na­mun dikeluhkan warna urin menjadi lebih keruh, seperti air teh, dikonfirmasi de­ngan hasil tes urin (cito) yang menunjuk­kan sedimen eritrosit (14-16 LPB) serta hemoglobinuria 2+ disertai proteinuria 2+. Proteinuria positif disertai hipertensi, meskipun tidak terlihat edema difus, men­jadikan pasien ini menyandang status preeklamsia. Dengan tensi inisial 180/110 mmHg, berdasarkan klasifikasi standar preeklamsia tergolong kategori preeklamsia berat.
Hasil uji kimia darah saat itu menunjukkan kadar ureum yang sedikit me­ning­kat, peningkatan signifikan enzim hati yang dibarengi hipoalbuminemia. Seperti telah disebutkan, pasien tidak terlihat beng­kak, kecuali pada regio pretibial. Asam urat masih dalam taraf normal, me­nunjukkan fungsi filtrasi glomerolus pa­sien belum terlalu terganggu.
Tidak ditemukan pandangan kabur pa­da pasien dan telah dikonfirmasi dengan hasil konsul bagian Mata dengan hasil ti­dak ditemukan papilledema. Ditambah de­ngan pemeriksaan refleks fisiologis pa­tella yang normal, menunjang tidak ditemukan kelainan neurologis sehingga me­nun­jukkan tidak adanya eklampsia3.
Adanya petekia dan purpura pada pa­sien menunjukkan efek preeklamsia telah menyebabkan koagulopati. Hasil darah pe­rifer lengkap menunjukkan trombosit yang rendah (160.000/mm3). Tanda ini merupa­kan petanda klinis signifikan un­tuk kecurigaan sindrom HELLP dan thrombotic trombocytopenic purpura yang ke­dua­nya berbahaya bagi kehamilan. De­ngan konfirmasi APTT yang dalam batas normal, sudah mampu menegakkan diagnosis perdarah­an akibat murni rendahnya trombosit sebagai bagian dari sindrom HELLP. Ditambah dengan hasil pening­kat­an fungsi hati (trans­aminase) meski be­lum ditemui tan­da hemolisis sudah mam­pu menegakkan diagnosis sindrom HELLP dengan klasifi­ka­si parsial. selain itu, hemolisis memang merupakan petanda yang biasanya terakhir ditemukan pa­da pasien sindrom HELLP sehingga dapat menunjukkan bah­wa keadaan pasien be­lum terlalu parah. Belakangan ditemui bah­wa hemoglobin ma­kin rendah, air seni pasien yang ber­ubah warna seperti air teh, serta perdarahan yang makin ba­nyak, diduga akibat he­mo­lisis dan dapat di­kategorikan sebagai sindrom HELLP total.

Perburukan penyakit
Saat datang pasien mengeluh nyeri ulu hati sebagai petanda kerusakan hati. Sebagai alat diagnostik lab, konfirmasi D-dimer kuantitatif dan kadar fibrinogen me­nunjukkan nilai yang tinggi (D-dimer=1,8 Fibrinogen=869). Dengan demikian, da­pat disimpulkan telah terjadi nekrosis he­patoselular akibat vasospasme hepar. Leng­kaplah penegakan diagnosis sindrom HELLP sebagai komplikasi pre­eklam­sia berdasarkan kriteria dasar he­mo­lisis, peningkatan aktivitas hati, trombosit yang rendah, serta tekanan darah yang tinggi.
Sebelum partus pasien telah menda­pat terapi konservatif6 induksi secara me­kanis dan kimiawi, antikejang pada 24 jam pertama, antioksidan Vit.C dan NAC (fluimucyl), antihipertensif, balans cairan dan kalori, kortikosteroid, dan antibiotik. Selain itu terapi yang paling penting ialah terminasi kehamilan.
Ternyata hingga dua hari pascapartus pasien tetap mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol (160/100 mmHg). Terapi antihipertensif terus dilanjutkan namun antioksidan telah dihentikan. Per­da­rahan makin banyak terjadi (spontan da­ri gusi) hingga Hb mencapai nilai 8,2 µg/L dan diputuskan untuk transfusi PRC 180 cc. Perdarahan ini kemungkinan akibat pemakaian heparin mikrodrip sebagai bagian dari tata laksana Disseminated In­travascular Coagulation (DIC) untuk men­ce­gah nekrosis hati. Kejadian perdarahan ini memang sering dilaporkan akibat dokter menggunakan heparin sebagai terapi pelebaran pembuluh darah. Meskipun he­parin telah terbukti tidak memiliki efek yang signifikan untuk terapi preeklamsia7, namun tetap dipakai selama D-di­mer kuantitatif pasien terus di atas nilai normal. D-dimer yang meningkat menunjukkan masih adanya tanda DIC. Sejauh ini pasien masih ditatalaksana puerperial terkontrol hingga perdarahan berhenti.
Hipertensi yang tak kunjung hilang pa­da pasien ini kemungkinan terjadi akibat inflamasi berlebih dari disfungsi endotel pascapreeklamsia. Leukosit terus me­nun­­jukkan peningkatan (27800/mm3). Ke­­mungkinan selain penghentian antiok­si­dan, memang pasien ini mengalami re­covery endotel yang relatif lama. Umum­nya hipertensi akan menyingkir pada 3-4 x 24 jam pascapartus pada pasien pre­eklamsia. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk menemukan penyebab prolong hy­pertension ini, mungkin antioksidan yang digunakan tidak sesuai dengan kelas ra­dikal bebas pasien, mungkin terdapat pe­nyakit metabolik yang tidak terdeteksi (mi­salnya prediabetes mellitus, dislipide­mia familial, dll.), adanya acute renal failure, kegagalan sirkulasi jantung (masih terdengar murmur sistolik), atau memang terdapat kelainan pembuluh darah, meng­ingat hipertensi kali ini ialah hasil dari preeklamsia berulang.
Dengan demikian secara fungsi, prognosis pasien ini sudah relatif buruk –ma­lam- karena masih memungkinkan ada­nya kemungkinan penyakit-penyakit lain yang menyebabkan kelainan pembuluh da­rah. Sementara secara vital, pasien ini juga belum tentu sembuh total, dubia ad bonam. Karena tata laksana konservatif hipertensi dan DIC telah dijalankan, se­dang menunggu hasil, mudah-mudahan ia bisa hidup normal tanpa cacat jika kedua­nya dihilangkan. Adapun kekambuhan, sta­­tusnya bisa dikatakan dubia ad malam karena telah banyak penelitian yang me­nyatakan bahwa preeklamsia, terutama yang berat, menjadi faktor risiko hipertensi menetap pada beberapa tahun kemudian. Ditambah adanya kemungkinan pe­nya­kit lain yang belum terdeteksi, ke­mung­kinan hipertensi akan terjadi kembali meskipun bukan bermanifestasi sebagai preeklamsia.

Jangan sampai terulang
Pasien pada kasus ini mengalami sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver func­tion, and Low Platelet count) sebagai komplikasi dari preeklamsia berat. Telah ditatalaksana dengan manajemen kon­ser­vatif untuk kontrol tekanan darah ser­ta telah dilakukan terminasi pervaginam atas induksi mekanik dan kimiawi. Ke­jadian menjadi serius karena justru terjadi DIC pascapartus, membuktikan bahwa disfungsi endotel terus berlangsung, ada kemungkinan akibat penyakit metabolik atau defek pembuluh darah yang tidak terdeteksi. Empat hari pascapartus hi­per­tensi masih tidak terkontrol (160/100 mmHg) sehingga diduga terdapat penya­kit lain yang harus ditelusuri lebih lanjut. Bisa jadi terdapat penyakit ginjal, kegagalan sirkulasi jantung, atau hipertensi primer dengan kausa yang belum ditemu­kan hingga sekarang. Saat ini terus di­la­kukan terapi kontrol tekanan darah disertai eksplorasi kemungkinan penyakit me­ta­bolik, sistemik, atau mungkin penyakit kronis yang belum terdeteksi. Mana­je­men dilakukan secara suportif, jika hi­per­tensi terus muncul tanpa diketahui kausa­nya, kemungkinan adanya hipertensi menetap, diduga sebagai imbas dari preeklamsia yang pertama. Ia menjadi bukti masih rendahnya kualitas penanganan ibu hamil dengan hipertensi di pelbagai rumah sakit di Indonesia. Dengan mendukung program pemerintah untuk me­nurunkan AKI, diharapkan komplikasi berat seperti pada pasien di atas dapat diminimalisasi kejadiannya


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_151_SindromHELLP.pdf/11_151_SindromHELLP.html