Selasa, 01 November 2011

Sindrom HELLP

Sindrom HELLP merupakan sing­kat­an dari Hemolysis, Elevated Liver function, dan Low Platelet count. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia de­ngan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus per­abdominam. Patogenesis sindrom HELLP masih belum jelas. Diagnosis dini sangat penting ditegakkan karena morbiditas dan mortalitas penyakit ini tergolong tinggi, sekitar 25 persen. Kadar trom­bosit yang rendah menjadi indikator yang sensitif dalam penegakan diagnosis sindrom HELLP. Uji D-dimer bisa menjadi alat identifikasi yang penting untuk me­nunjukkan tanda awal sindrom HELLP pa­da pasien preeklamsia. Terapi untuk pa­sien sindrom HELLP merupakan manajemen su­portif meliputi profilaksis kejang (eklampsia) dan kontol tekanan darah pa­da pa­sien dengan hipertensi. Pasien dengan ke­hamilan preterm dilakukan terapi konservatif, sedangkan pasien aterm me­ru­pakan indikasi untuk terminasi. Be­be­rapa pasien memerlukan transfusi produk da­rah, sebagian lagi sangat responsif de­ngan terapi kortikosteroid.

Hipertensi sejak hamil pertama
Seorang wanita hamil berusia 27 ta­hun (G2P1A0) mengeluh sesak napas satu hari sebelum ke Rumah Sakit Umum (RSU). Saat itu ia mengeluh nyeri ulu hati, namun kaki tidak bengkak, tidak nyeri ke­pala, pandangan tidak kabur, tidak keluar lendir atau darah, tidak mual, dan tidak muntah. Diduga ia telah diduga menderita sindrom HELLP oleh dokter kandungan setempat namun karena keterbatasan alat pemeriksaan, ia dirujuk ke Rumah Sa­kit Umum Pusat Nasional (RSUPN) de­ngan diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD) dari hasil USG. Di sana ia telah mendapat terapi asam traneksamat, deksametaon, ceftriaxone, digoksin, aspirin, dan regimen antihipertensi.
Karyawan pabrik yang sehari-hari bekerja di kawasan industri ini tengah hamil 25-26 minggu dan sejak awal kehamilan sang ibu sudah dinyatakan menderita ‘da­rah tinggi’ oleh dokter yang memeriksa­kan perawatan antenatal. Tekanan darahnya saat ini berkisar 130/90 mmHg (su­dah mengkonsumsi obat antihipertensi). Hari pertama haid terakhirnya sesuai de­ngan perkiraan usia kehamilan melalui USG. Ia juga telah memiliki riwayat hi­per­tensi pada kehamilannya yang pertama.

Janin telah mati
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tampak pu­cat namun tidak sesak, tekanan darah 180/110 mmHg dan suhu 36.50C. Ter­dengar bunyi jantung gallop (S4), perut mem­buncit esuai kehamilan, dan ekstre­mi­tas yang tidak edema. Pemeriksaan obs­tetri menunjukkan tinggi fundus uteri 15 cm, vulva dan uretra tenang, porsio licin, merah, tidak ada fluor albus dan fluxus. Porsio kenyal ke arah belakang de­ngan panjang 2 cm, kepala pada H1, dan protein stick menunjukkan angka +2. Pemeriksaan USG menunjukkan presen­ta­si janin kepala tunggal tanpa ada de­nyut jantung janin dan telah terdapat spalding sign. Di RSUPN ia didiagnosis ulang sebagai sindrom HELLP akibat pre­eklamsia berat (PEB).
Saat itu juga ia direncanakan untuk cek darah perifer lengkap (DPL), urinalisis lengkap (UL), gula darah sewaktu (GDS), enzim transaminase (SGOT/SGPT), dan laktat dehidrogenase (LDH) ulang. Dicek pula elektrokardiografi (EKG), asam urat, ureum, kreatinin, albumin, elektrolit, fibri­nogen, dan d-dimer. Perawatannya terpa­du antara dokter obstetri ginekologi de­ngan konsultasi dokter kardiologi dan dok­ter mata.
Rencana terapi yang utama ialah ter­mi­nasi pervaginam untuk menghentikan hipertensi dengan perangsang misoprostol (4x50 mg) dengan folley cathether. Se­la­lu dilakukan pengawawan tanda vital dan tanda-tanda perburukan. Kepalanya diele­va­si 300 dan dimasukkan bolus MgSO4 4 gram dilanjutkan drip 1 gr/jam dalam 24 jam. Obat yang dipakai ialah ISDN 3x10 mg (dosis maksimal 80 mg) dengan selalu dilakukan pengawasan te­kanan darah ditambah vitamin C seba­nyak 2x400 mg perhari. Deksametason te­tap diberikan 10 mg dua kali sehari, serta pemberian antibiotik Amoxicillin 3x500 mg.
Usai dicek, erdapat penurunan hematokrit, leukositosis, trombositopenia, ser­ta kadar fibrinogen dan D-dimer yang tinggi. Hasil tes urin menunjukkan sedimen leukosit, eritrosit, proteinuria, dan hemoglobinuria. Hasil tes fungsi hati menun­juk­­kan peningkatan signifikan (SGOT, SGPT, dan LDH) disertai hipoalbuminemia. Hemoglobin makin hari makin turun (8,2 g/mL). Leukositosis tetap terdeteksi dalam nilai 24.000/mm3. Trombosit  terakhir 136.000/mm3. Hasil uji D-dimer me­ningkat tinggi (5,3), fibrinogen juga meningkat (642).
Setelah mengalami persalinan atas in­duksi oksitoksin secara spontan, keluar ja­nin mati (IUFD) namun etelah itu te­kanan darah masih tidak terkontrol (160/100 mmHg). Setelah ditransfusi PRC pun konjungtiva masih pucat, akral dingin, dan masih ditemukan beberapa purpura pada ekstremitas.

Vasospasme kapiler paru
Wanita yang akhirnya berstatus P2A1 ini sudah mengalami kali kedua pre­eklamsia. Pada kehamilan yang pertama bayi dapat dilahirkan spontan cukup bu­lan. Namun ka­­li kedua preeklamsia terjadi ketika usia ke­hamilan masih 24-25 ming­gu serta te­lah terdeteksi janin mati da­lam kandungan dengan pemeriksaan de­nyut jantung janin dan USG. Dengan de­mikian dilakukan terminasi pervaginam dengan induksi pros­ta­glandin-folley ka­teter dua hari SMRS di­barengi tata laksana kontrol tekanan da­rah dan pencegahan kejang. Preeklamsia yang makin be­rat terjadi pada kehamilan kedua masih tetap memungkinkan mes­ki­pun ber­da­sar­kan epidemiologi pasien tergolong di atas kurva normal. Faktor risiko preeklamsia ia­lah nullipara, gemelli, hamil dengan pa­sangan baru, keturunan pre­eklam­sia da­lam keluarga, serta berbagai penyakit me­­tabolik (DM, hipertensi, pe­nya­kit ginjal).
Datang dengan keluhan sesak napas, diduga akibat vasospasme kapiler paru. Ditatalaksana di RSU secara suportif dan sudah tidak sesak ketika dirujuk ke RSUPN. Di RSUPN diduga (masih) edema paru dan dipastikan dengan konsul kardiologi yang ternyata menunjukkan hasil tidak ada tanda-tanda gagal jantung kiri, meskipun pada saat itu tertulis di status IGD terdapat gallop pada auskultasi jantung. Sampai pemantauan terakhir masih terdengar murmur dan click sistolik yang menandakan masih adanya hipertensi.

Gejala sindrom HELLP
makin jelas
Dari awal datang tidak mengeluh ada­nya kelainan frekuensi BAK dan BAB. Na­mun dikeluhkan warna urin menjadi lebih keruh, seperti air teh, dikonfirmasi de­ngan hasil tes urin (cito) yang menunjuk­kan sedimen eritrosit (14-16 LPB) serta hemoglobinuria 2+ disertai proteinuria 2+. Proteinuria positif disertai hipertensi, meskipun tidak terlihat edema difus, men­jadikan pasien ini menyandang status preeklamsia. Dengan tensi inisial 180/110 mmHg, berdasarkan klasifikasi standar preeklamsia tergolong kategori preeklamsia berat.
Hasil uji kimia darah saat itu menunjukkan kadar ureum yang sedikit me­ning­kat, peningkatan signifikan enzim hati yang dibarengi hipoalbuminemia. Seperti telah disebutkan, pasien tidak terlihat beng­kak, kecuali pada regio pretibial. Asam urat masih dalam taraf normal, me­nunjukkan fungsi filtrasi glomerolus pa­sien belum terlalu terganggu.
Tidak ditemukan pandangan kabur pa­da pasien dan telah dikonfirmasi dengan hasil konsul bagian Mata dengan hasil ti­dak ditemukan papilledema. Ditambah de­ngan pemeriksaan refleks fisiologis pa­tella yang normal, menunjang tidak ditemukan kelainan neurologis sehingga me­nun­jukkan tidak adanya eklampsia3.
Adanya petekia dan purpura pada pa­sien menunjukkan efek preeklamsia telah menyebabkan koagulopati. Hasil darah pe­rifer lengkap menunjukkan trombosit yang rendah (160.000/mm3). Tanda ini merupa­kan petanda klinis signifikan un­tuk kecurigaan sindrom HELLP dan thrombotic trombocytopenic purpura yang ke­dua­nya berbahaya bagi kehamilan. De­ngan konfirmasi APTT yang dalam batas normal, sudah mampu menegakkan diagnosis perdarah­an akibat murni rendahnya trombosit sebagai bagian dari sindrom HELLP. Ditambah dengan hasil pening­kat­an fungsi hati (trans­aminase) meski be­lum ditemui tan­da hemolisis sudah mam­pu menegakkan diagnosis sindrom HELLP dengan klasifi­ka­si parsial. selain itu, hemolisis memang merupakan petanda yang biasanya terakhir ditemukan pa­da pasien sindrom HELLP sehingga dapat menunjukkan bah­wa keadaan pasien be­lum terlalu parah. Belakangan ditemui bah­wa hemoglobin ma­kin rendah, air seni pasien yang ber­ubah warna seperti air teh, serta perdarahan yang makin ba­nyak, diduga akibat he­mo­lisis dan dapat di­kategorikan sebagai sindrom HELLP total.

Perburukan penyakit
Saat datang pasien mengeluh nyeri ulu hati sebagai petanda kerusakan hati. Sebagai alat diagnostik lab, konfirmasi D-dimer kuantitatif dan kadar fibrinogen me­nunjukkan nilai yang tinggi (D-dimer=1,8 Fibrinogen=869). Dengan demikian, da­pat disimpulkan telah terjadi nekrosis he­patoselular akibat vasospasme hepar. Leng­kaplah penegakan diagnosis sindrom HELLP sebagai komplikasi pre­eklam­sia berdasarkan kriteria dasar he­mo­lisis, peningkatan aktivitas hati, trombosit yang rendah, serta tekanan darah yang tinggi.
Sebelum partus pasien telah menda­pat terapi konservatif6 induksi secara me­kanis dan kimiawi, antikejang pada 24 jam pertama, antioksidan Vit.C dan NAC (fluimucyl), antihipertensif, balans cairan dan kalori, kortikosteroid, dan antibiotik. Selain itu terapi yang paling penting ialah terminasi kehamilan.
Ternyata hingga dua hari pascapartus pasien tetap mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol (160/100 mmHg). Terapi antihipertensif terus dilanjutkan namun antioksidan telah dihentikan. Per­da­rahan makin banyak terjadi (spontan da­ri gusi) hingga Hb mencapai nilai 8,2 µg/L dan diputuskan untuk transfusi PRC 180 cc. Perdarahan ini kemungkinan akibat pemakaian heparin mikrodrip sebagai bagian dari tata laksana Disseminated In­travascular Coagulation (DIC) untuk men­ce­gah nekrosis hati. Kejadian perdarahan ini memang sering dilaporkan akibat dokter menggunakan heparin sebagai terapi pelebaran pembuluh darah. Meskipun he­parin telah terbukti tidak memiliki efek yang signifikan untuk terapi preeklamsia7, namun tetap dipakai selama D-di­mer kuantitatif pasien terus di atas nilai normal. D-dimer yang meningkat menunjukkan masih adanya tanda DIC. Sejauh ini pasien masih ditatalaksana puerperial terkontrol hingga perdarahan berhenti.
Hipertensi yang tak kunjung hilang pa­da pasien ini kemungkinan terjadi akibat inflamasi berlebih dari disfungsi endotel pascapreeklamsia. Leukosit terus me­nun­­jukkan peningkatan (27800/mm3). Ke­­mungkinan selain penghentian antiok­si­dan, memang pasien ini mengalami re­covery endotel yang relatif lama. Umum­nya hipertensi akan menyingkir pada 3-4 x 24 jam pascapartus pada pasien pre­eklamsia. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk menemukan penyebab prolong hy­pertension ini, mungkin antioksidan yang digunakan tidak sesuai dengan kelas ra­dikal bebas pasien, mungkin terdapat pe­nyakit metabolik yang tidak terdeteksi (mi­salnya prediabetes mellitus, dislipide­mia familial, dll.), adanya acute renal failure, kegagalan sirkulasi jantung (masih terdengar murmur sistolik), atau memang terdapat kelainan pembuluh darah, meng­ingat hipertensi kali ini ialah hasil dari preeklamsia berulang.
Dengan demikian secara fungsi, prognosis pasien ini sudah relatif buruk –ma­lam- karena masih memungkinkan ada­nya kemungkinan penyakit-penyakit lain yang menyebabkan kelainan pembuluh da­rah. Sementara secara vital, pasien ini juga belum tentu sembuh total, dubia ad bonam. Karena tata laksana konservatif hipertensi dan DIC telah dijalankan, se­dang menunggu hasil, mudah-mudahan ia bisa hidup normal tanpa cacat jika kedua­nya dihilangkan. Adapun kekambuhan, sta­­tusnya bisa dikatakan dubia ad malam karena telah banyak penelitian yang me­nyatakan bahwa preeklamsia, terutama yang berat, menjadi faktor risiko hipertensi menetap pada beberapa tahun kemudian. Ditambah adanya kemungkinan pe­nya­kit lain yang belum terdeteksi, ke­mung­kinan hipertensi akan terjadi kembali meskipun bukan bermanifestasi sebagai preeklamsia.

Jangan sampai terulang
Pasien pada kasus ini mengalami sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver func­tion, and Low Platelet count) sebagai komplikasi dari preeklamsia berat. Telah ditatalaksana dengan manajemen kon­ser­vatif untuk kontrol tekanan darah ser­ta telah dilakukan terminasi pervaginam atas induksi mekanik dan kimiawi. Ke­jadian menjadi serius karena justru terjadi DIC pascapartus, membuktikan bahwa disfungsi endotel terus berlangsung, ada kemungkinan akibat penyakit metabolik atau defek pembuluh darah yang tidak terdeteksi. Empat hari pascapartus hi­per­tensi masih tidak terkontrol (160/100 mmHg) sehingga diduga terdapat penya­kit lain yang harus ditelusuri lebih lanjut. Bisa jadi terdapat penyakit ginjal, kegagalan sirkulasi jantung, atau hipertensi primer dengan kausa yang belum ditemu­kan hingga sekarang. Saat ini terus di­la­kukan terapi kontrol tekanan darah disertai eksplorasi kemungkinan penyakit me­ta­bolik, sistemik, atau mungkin penyakit kronis yang belum terdeteksi. Mana­je­men dilakukan secara suportif, jika hi­per­tensi terus muncul tanpa diketahui kausa­nya, kemungkinan adanya hipertensi menetap, diduga sebagai imbas dari preeklamsia yang pertama. Ia menjadi bukti masih rendahnya kualitas penanganan ibu hamil dengan hipertensi di pelbagai rumah sakit di Indonesia. Dengan mendukung program pemerintah untuk me­nurunkan AKI, diharapkan komplikasi berat seperti pada pasien di atas dapat diminimalisasi kejadiannya


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_151_SindromHELLP.pdf/11_151_SindromHELLP.html

Selasa, 22 Maret 2011

FAKTOR RISIKO KEJADIAN GEJALA ISPA RINGAN PADA BADUTA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada bayi dan balita. Di Amerika pneumonia menempati peringkat ke-6 dari semua penyebab kematian dan peringkat pertama dari seluruh penyakit infeksi. Di Spanyol angka kematian akibat pneumonia mencapai 25%, sedangkan di Inggris dan Amerika sekitar 12% atau 25-30 per 100.000 penduduk (Heriana, et.al, 2005). Sedangkan untuk angka kematian akibat ISPA dan Pneumonia pada tahun 1999 untuk negara Jepang yaitu 10%, Singapura sebesar 10,6%, Thailand sebesar 4,1%, Brunei sebesar 3,2% dan Philipina tahun 1995 sebesar 11,1% (SEAMIC Health Statistics, 2000).
ISPA menyebabkan 40% dari kematian anak usia 1 bulan sampai 4 tahun. Hal ini berarti dari seluruh jumlah anak umur 1 bulan sampai 4 tahun yang meninggal, lebih dari sepertiganya meninggal karena ISPA atau diantara 10 kematian 4 diantaranya meninggal disebabkan oleh ISPA (Depkes, 1985). Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA. Diperkirakan bahwa 2-5 juta bayi dan balita di berbagai negara setiap tahun mati karena ISPA (WHO, 1986)
Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4 tahun). Diperkirakan kejadian ISPA pada balita di Indonesia yaitu sebesar 10-20%. Berdasarkan hasil SKRT, penyakit ISPA pada tahun 1986 berada di urutan ke-4 (12,4%) sebagai penyebab kematian bayi. Sedangkan pada tahun 1992 dan 1995 menjadi penyebab kematian bayi yang utama yaitu 37,7% dan 33,5% (Depkes RI, 2001). Hasil SKRT pada tahun 1998 juga menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyebab kematian utama pada bayi (36%). Dan hasil SKRT pada tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi tinggi ISPA yaitu sebesar 39% pada bayi dan 42% pada balita (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta (>35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah. Di Jawa Barat kejadian ISPA berada di angka 24,73%, untuk daerah Jawa Tengah sebesar 29,08.
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Dari angka-angka di rumah sakit Indonesia didapat bahwa 40% sampai 70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 1985). Sebanyak 40-60% kunjungan pasien ISPA berobat ke puskesmas dan 15-30% kunjungan pasien ISPA berobat ke bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes RI, 2000).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993) faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002) menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.
Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah lingkungan perumahan, dimana kualitas rumah berdampak terhadap kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapat dilihat dari jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan bakar masak yang dipakai. Faktor-faktor di atas diduga sebagai penyebab terjadinya ISPA (Depkes RI, 2003c).
Penelitian Sumargono (1989) di Jakarta membuktikan bahwa pendidikan ibu, gizi balita, imunisasi, umur balita dan pendapatan keluarga mempengaruhi terhadap terjadinya kejadian ISPA ringan, sedangkan kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya ISPA sedang. Hasil penelitian Riswandri (2002) membuktikan bahwa bapak, kebiasaan membuka jendela rumah, jumlah anggota keluarga dan letak ternak kandang berhubungan dengan kejadian ISPA di Kecamatan Parung-Jawa Barat. Menurut Abdullah (2003), faktor risiko terjadinya ISPA pada bayi umur 0-4 bulan adalah berat badan lahir (BBL), status gizi, pemberian ASI, pendidikan ibu, kepadatan hunian, keadaan ventilasi, asap pembakaran, asap rokok dan letak dapur. Penelitian Riza (2005) membuktikan bahwa jenis lantai rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Bekasi, sedangkan penelitian Desmon (2002) di Sumatera Barat membuktikan bahwa jenis atap dan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita.
Kejadian ISPA di X pada baduta berada di urutan pertama dibandingkan penyakit lainnya. Hal ini dapat dilihat pada tahun XXXX, kejadian ISPA pada pasien rawat jalan anak usia (29 hari - < 1 tahun) di Puskesmas X sebesar 33,35%, sedangkan untuk pasien rawat jalan anak usia (1-4 tahun) yang menderita ISPA sebesar 40,68%.
Berdasarkan data Profil Puskesmas X, menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyaraat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di Wilayah kerja Puskesmas X dengan persentase sebesar 40,68%. Begitu pula pada kelompok umur 5-44 tahun, penyakit ISPA pun menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit yang diderita yaitu sebesar 28,33%. Berdasarkan data inilah maka penulis melakukan analisis dari data sekunder untuk melihat faktor risiko gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X.

1.2 Rumusan Masalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara majutermasuk. Hal ini
disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada bayi dan balita. Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain yaitu sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara), berat badan bayi rendah (BBLR), imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.
Berdasarkan data Profil Puskesmas X, menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyaraat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di Wilayah kerja Puskesmas X dengan persentase sebesar 40,68%. Begitu pula pada kelompok umur 5-44 tahun, penyakit ISPA pun menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit yang diderita yaitu sebesar 28,33%. Berdasarkan data inilah maka penulis melakukan analisis dari data sekunder untuk melihat faktor risiko gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran gejala ISPA ringan di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
b. Bagaimana gambaran karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
c. Bagaimana gambaran karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
d. Bagaimana gambaran lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
e. Bagaimana hubungan antara karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
f. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?
g. Bagaimana hubungan antara lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Diketahuinya faktor risiko kejadian gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
3. Diketahuinya gambaran karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
4. Diketahuinya gambaran lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
5. Diketahuinya hubungan antara karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
6. Diketahuinya hubungan antara karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
7. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) engan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota
X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti : Penelitian ini dapat menambah wawasan dan memperluas pengetahuan tentang hubungan asupan gizi dan faktor lainnya dengan gejala ISPA ringan di wilayah kerja Kelurahan X Kota X tahun XXXX.
2. Penelitian ini dapat berguna dalam penerapan ilmu gizi kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan ISPA pada baduta serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.
3. Dapat menjadi masukan kepada pembuat kebijakan dan pelaksana program berkaitan dengan intervensi penyakit ISPA khususnya pada baduta terutama Kelurahan X Kota X.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX. Penelitian ini merupakan hasil penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil laporan Prakesmas tahun XXXX yang merupakan data dasar karakteristik baduta, pengetahuan gizi ibu, pola asuh, sanitasi dan higiene, status gizi dan asupan gizi (energi dan protein).
Populasi penelitian adalah baduta di wilayah kerja Kelurahan X Kota X tahun XXXX. Faktor-faktor yang diteliti adalah karakteristik baduta yang terdiri (umur baduta, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan energi dan protein, pola asuh), karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) serta lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan) dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan X Kota X tahun XXXX.

Rabu, 16 Maret 2011

SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun yang telah terukur sejak pertengahan abad ke-19 (Depkes, 2009). Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan, hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah. Namun kini perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (antropogenik), terutama yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Gas-gas tersebut yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju perubahan konsentrasi GRK (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim, khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan angin (Depkes, 2009). Begitu juga dalam hal distribusi dan kelimpahan dari organisme vektor dan host intermediate. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya jarak suhu di mana vektor dan parasit penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah kasus malaria di Asia hingga 27 persen dan DBD hingga 47 persen. Di Indonesia yang merupakan negara tropis, daerah-daerah baru yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya.
Penyakit DBD atau dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya (Depkes, XXXX). Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan angka insiden luar biasa (KLB) atau wabah.
Penyakit ini terus menyebar luas di negara tropis dan subtropis. Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan demam berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia (Depkes, XXXX).
Kasus DBD dilaporkan terjadi pada tahun 1953 di Filipina kemudian disusul negara Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam puluhan, penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara antara lain Singapura, Malaysia, Srilanka, dan Indonesia. Pada dekade tujuh puluhan, penyakit ini menyerang kawasan pasifik termasuk kepulauan Polinesia.
DBD merupakan salah satu penyakit infeksi yang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di negara kita, khususnya di kota-kota besar. Di Jakarta, DBD menunjukkan sifat endemis dengan jumlah kasus yang meningkat di saat awal dan akhir musim penghujan, serta adanya ledakan kasus setiap sekitar lima tahun yaitu pada tahun 1988, 1993 dan 1998 (Rezeki, 2000).
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timor telah terjangkit penyakit DBD. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi angka insiden luar biasa setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) atau angka angka insiden sebesar 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian sebesar 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003); 43,35 (tahun 2005) dan 52,48 (tahun 2006) (Depkes, XXXX). Sedangkan angka kematian DBD pada tahun 2005 adalah 1,4%, dan pada tahun 2006 adalah sebesar 1,04%.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun XXXX, jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun XXXX sebanyak 158.115 kasus dengan jumlah kematian 1.570 orang (CFR=1.01% dan IR=71,87 per 100.000 penduduk). Sampai akhir tahun XXXX, jumlah kabupaten/kota yang terjangkit DBD adalah 354 kabupaten/kota atau sekitar 76,1% dari seluruh wilayah kabupaten/kota. Tiga puluh ribu kasus DBD tercatat di Indonesia selama bulan Januari sampai April XXXX. Dari 30 ribu kasus tersebut, kasus kematian yang terjadi adalah berkisar antara 1 hingga 1,3 persen selama setahun (Depkes, 2009).
Pola perkembangan DBD di Indonesia pada tahun 2006 kasus cenderung menurun setiap bulannya sampai dengan bulan Oktober namun terjadi sedikit peningkatan pada bulan November dan Desember. Tahun XXXX kasus mulai Januari terus meningkat dengan puncaknya pada bulan Februari dan terus menurun sampai dengan bulan September dan Oktober (Depkes, XXXX).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, pada tahun XXXX tercatat dua propinsi menyatakan angka insiden luar biasa pada penyakit DBD, yaitu Banten dan Jawa Barat. Sementara enam provinsi lainnya, melaporkan peningkatan kasus DBD yang signifikan yaitu Lampung, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Status KLB tersebut didasarkan atas peningkatan kasus DBD sepanjang Januari hingga pertengahan Februari di Banten dan Jawa Barat yang meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2006.
Dinas Kesehatan Propinsi Banten, pada tahun 2003 melaporkan jumlah kasus DBD terjadi sebanyak 1.088 dengan jumlah kematian sebesar 35 kasus atau CFR 3,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi sebanyak 2.577 kasus dengan jumlah kematian sebesar 58 kasus atau CFR 2,25 per 100.000 penduduk. Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi sebanyak 2.045 kasus dengan jumlah kematian sebesar 26 kasus atau CFR 1,27 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2006, kasus DBD terjadi sebanyak 2.517 dengan kasus meninggal dunia sebanyak sembilan orang atau CFR 1,52 per 100.000 penduduk. Sedangkan, pada tahun XXXX korban DBD sebanyak 3.881 kasus, dengan kasus meninggal dunia sebanyak 24 orang. Pada tahun XXXX, tercatat 3.954 warga terX DBD dan 43 orang meninggal atau CFR 1,45 per 100.000 penduduk.
Kabupaten X merupakan wilayah di propinsi Banten yang memiliki jumlah kasus terbesar kedua setelah Kabupaten Tangerang. Kasus DBD yang terjadi pada tahun 2003 adalah sebanyak 252 dengan jumlah kematian sebesar 10 kasus. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi sebanyak 578 kasus dengan jumlah kematian sebesar 17 kasus. Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi sebanyak 569 kasus dengan jumlah kematian sebesar 6 kasus. Tahun 2006 terjadi sebanyak 517 warga terX DBD. Pada tahun XXXX korban DBD sebanyak 1597 kasus dengan jumlah kematian sebesar 29 kasus atau CFR sebesar 1,8 dan IR sebesar 7,5 per 10.000 penduduk. Dan pada tahun XXXX terjadi sebanyak 525 kasus DBD atau CFR sebesar 1,3 dan IR sebesar 3,3 per 10.000 penduduk (Dinkes Kabupaten X, XXXX).
Kota X yang pada tahun XXXX merupakan Kecamatan X, karena terdapat pemekaran wilayah Kabupaten X menjadi Kabupaten dan Kota X, memiliki kontribusi besar dalam peningkatan jumlah kasus. Tidak hanya Kecamatan X yang tidak lagi termasuk dalam wilayah Kabupaten X tetapi juga enam kecamatan lainnya yaitu Cipocok Jaya, Curug, Kasemen, X, Taktakan dan Walantaka. Oleh karena itu, terjadi penurunan jumlah kasus yang terjadi di Kabupaten X pada tahun XXXX. Selain itu program pemberantasan DBD yang dilaksanakan Dinas Kesehatan Kabupaten X berupa fogging focus untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dewasa sangat efektif. Dan antisipasi warga masyarakat dengan melakukan PSN sebelum musim penghujan datang memberi kontribusi dalam penurunan jumlah kasus DBD sehingga angka insiden DBD pun dapat menurun.
Hasil penelitian Gubler (2001) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, dan variasi iklim lain mempengaruhi vektor dan patogen yang ditularkannya. Faktor resiko yang berperan dalam peningkatan, penyebaran, morbiditas serta mortalitas infeksi virus dengue antara lain adalah faktor lingkungan ekosistem yaitu ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim, perubahan iklim global, dan letak geografis (Hasyim, XXXX). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian lain yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor iklim dengan kasus dan angka insidens DBD selama tahun 1997-2000 terutama untuk suhu udara di DKI Jakarta (Andriani, 2001).
Pada penelitian Yanti (2004) di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2000-2004 disimpulkan bahwa kelembaban udara, total curah hujan, jumlah hari hujan, indeks curah hujan mempunyai hubungan yang sedang dengan angka insiden DBD. Sama halnya dengan penelitian Silaban (2005) menyatakan bahwa variasi iklim (jumlah hari hujan, lama penyinaran matahari, dan kelembaban) memiliki hubungan bermakna dengan insiden DBD di Kota Bogor. Namun berbeda dengan penelitian Sungono (2004) di Jakarta Utara tahun 1999-2003 menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara faktor iklim yaitu suhu, curah hujan, lama hari hujan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara dengan angka insiden DBD.

1.2 Rumusan Masalah
Demam berdarah dengue sebagai penyakit berbasis vektor perlu diwaspadai karena penularan penyakit ini memiliki kemungkinan meningkat dengan perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pada faktor iklim. Tingginya jumlah kasus DBD di Kabupaten X yang ditandai dengan nilai CFR lebih besar dari satu per 10.000 penduduk. Kemudian jumlah kasus yang menduduki peringkat kedua terbanyak selama beberapa tahun terakhir setelah Kabupaten Tangerang di Propinsi Banten membuat peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keadaan faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
2. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan orang di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
3. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan wilayah di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
4. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan waktu di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
5. Adakah hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran dan hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran keadaan faktor iklim di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
2. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan orang di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
3. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan wilayah di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
4. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan waktu di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
5. Mengetahui hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memberi gambaran tentang masalah dan perkembangan angka insiden demam berdarah dengue pada masyarakat di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX dalam kaitannya dengan faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin). Penelitian dilaksanakan di Kabupaten X karena angka insiden demam berdarah dengue selalu muncul setiap tahun dan selalu menelan korban jiwa. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei melalui penelusuran dan analisis data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten X, Dinas Kesehatan Propinsi X serta Balai Besar Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah X.

1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten X mengenai penanggulangan angka insiden demam berdarah dengue.
1.6.2 Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kaitan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue.
1.6.3 Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan penelitian berikutnya dan menambah wawasan peneliti mengenai hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue.

Selasa, 15 Maret 2011

HUBUNGAN PERSEPSI DAN SIKAP REMAJA TENTANG MEROKOK DENGAN PERILAKU MEROKOK REMAJA

HUBUNGAN PERSEPSI DAN SIKAP REMAJA TENTANG
MEROKOK DENGAN PERILAKU MEROKOK REMAJA DI SMU
KOTA MASOHI MALUKU TENGAH

INTISARI

Latar Belakang: Kebiasaan merokok yang terjadi saat ini akan
mengakibatkan sekitar 500 juta orang ya ng kini hidup pada akhirnya akan
mati karena komsumsi tembakau dan lebih dari separohnya adalah anakanak
dan remaja. Di Indonesia perokok pemula semakin muda usianya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja usia 11-18 tahun sudah
merokok. Sebagian besar mereka telah memahami akibat berbahaya dari
merokok tetapi mereka tidak berhenti merokok. Persepsi dan sikap remaja
terntang merokok akan memberikan keyakinannya terhadap aktivitas
merokok sehingga remaja akan mengambil keputusan untuk berperilaku
merokok. Salah satu alasan sehingga remaja merokok karena persepsi dan
sikap yang buruk terhadap kebiasaan merokok. Risiko akibat merokok akan
berpengaruh buruk terhadap kesehatan apalagi bagi remaja sebagai calon
pembentuk keluarga dan penerus cita-cita bangsa.
Tujuan: Mengetahui hubungan persepsi dan sikap remaja tentang merokok
dengan perilaku merokok pada remaja.

Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan
rancangan cross sectional.
Subjek penelitian adalah remaja di SMU dan SMK. Sampel penelitian
berjumlah 103 responden. Analisis yang digunakan adalah univariat, bivariat
dan multivariat. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan antara
variabel bebas, variabel pengganggu dan variabel terikat dengan
perhitungan chi square dengan regresi logistik. Derajat kemaknaan adalah
95% dengan p<0,05.
Hasil : Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap merokok
dengan perilaku merokok remaja p= 0,00 hal ini menunjukkan bahwa sikap
remaja terhadap merokok merupakan prediktor dominan terjadinya perilaku
merokok remaja  Variabel
persepsi, kebiasaan merokok keluarga dan bentuk keluarga tidak terdapat
hubungan bermakna (masing masing p=0,48; 0,65; 0,16) hal ini berarti
variabel persepsi, kebiasaan merokok keluarga dan bentuk keluarga bukan
prediktor perilaku merokok remaja di Kota Masohi.
Kesimpulan: Sikap terhadap merokok merupakan prediktor yang dominan
terhadap perilaku merokok remaja menyusul variabel persepsi sedangkan
variabel kebiasaan merokok keluarga dan bentuk keluarga bukan merupakan
prediktor untuk perilaku merokok remaja.

ABSTRACT
Background: Smoking habit during this time caused around 500 million
people who are still alive would be died because of tobacco consumption and
more than half of them are children and teenager. In Indonesia, the beginner
smokers are those who are still young. Various researches showed that
teenagers in the age of 11-18 years old has started to smoke. They still not
quit smoking even though most of them have understood the dangerous
impact of smoking. Perception and attitude of teenagers about smoking would
entrust the smoking activity so that teenagers will decide to smoke. One of
the reasons for teenagers to smoke is because of bad perception and attitude
toward smoking habit. The risk of smoking impact will create bad influence
toward health even for teenagers as candidate in forming a family and
becomes the next generation who will continue nation’s aspiration.
Objective: To find out relationship of perception and attitude of teenagers
regarding smoking with teenager’s smoking behavior..
Method: This research was observational that used cross sectional design.  The subjects of this research
were teenagers in SMU and SMK. The sample of this research was 103
respondents. Analysis being used was univariat, bivariat, and multivariat. The
statistic test being used was intended to find out the relationship between
independent variable, and dependent variable with chi square calculation that
used logistic regression. The degree of significance was 95% with p<0,05.
Result : There was a significant relationship between attitude toward
smoking with smoking behavior of teenager with p=0,00. This is showed that
the attitude of teenager toward smoking is dominant predictor toward smoking
behavior of teenger There was no
significant relationship between variable of perception, family’s smoking habit
and the form of family (respectively with p=0,48;0,65;0,16) and this means
that variable of perception, family’s smoking habit and the form of family were
not the predictors of teenager’s smoking behavior in Masohi city.
Conclusion: The attitude toward smoking is a dominant predictor toward
teenager’s smoking behavior followed by perception variable and yet variable
of family smoking habit and form of family was not the predictors for
teengaer’s smoking behavior.

EPIDEMIOLOGI

- MATERI
- PENDAHULUAN
- SEJARAH PERKEMBANGAN
- RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
- PENCEGAHAN EPIDEMIOLOGI
- KLASIFIKASI PENYAKIT

- INFERENSI KAUSA
- DESIGN STUDI
- UKURAN FREKUENSI
- APLIKASI EPIDEMIOLOGI
  ‐KONSEP PENYIDIKAN WABAH
   (KLB)
  ‐SURVEILLANCE EPIDEMIOLOGI
  ‐PROGRAM SCREENING

RUANG LINGKUP
- SUBYEK & OBYEK EPIDEMIOLOGI
  Masalah Kesehatan :
  * Penyakit Infeksi/ menular
  * Penyakit Non menular
  * Masalah Kesehatan Lain :
     ‐program KB
     ‐program perbaikan lingk. Pemukiman
     ‐program pengadaan& sarana pely. kesehatan
- SASARAN : Populasi manusia
- MENGUKUR & MENGANALISA FREKUENSI + PENYEBARAN MASALAH KESEHATAN

EPIDEMILOGI : SEJARAH DAN BATASAN
- PENGGUNAAN EPIDEMIOLOGI􀃆
  tidak terbatas pada kajian penyakit menular / wabah, meluas berbagai
  bidang kajian baik pengetahuan kesehatan & kedokteran juga diluar bidang
  tersebut.
- BATASAN EPIDEMILOGI􀃆
  tidak pernah dapat memberikan definisi yang sama, menyesuaikan dengan
  perkembangan manuasia.
- JAMAN PRASEJARAH􀃆
  Penyembuhan dengan ramuan sederhana dari bahan yang ada di alam.
- PERADABAN KUNO􀃆
  INDIA(5000 SM–kitab suci Weda)􀃆sistem kedokteran ‘Ayurweda’ 􀃆Science of
  life.
  DATARAN TIONGKOK(2700 SM) 􀃆Kedokteran Kuno Mesir.
  KUNO(1500 SM) 􀃆Pengetahuan Kedokteran (medical manuscript).
  YUNANI KUNO􀃆Aesculapius(dewa penyembuhan) anaknya ‘HYGIEA’
        dipuja sebagai Dewi (Goddess) Kesehatan dan
        kebersihan (HYGIENE).
  HIPPOCRATES (460‐377SM)􀃆
        Bp Kedokteran Modern 􀃆kejadian penyakit karena
        kontak dengan jasad hidup, penyakit berkaitan dengan
        lingkungan eksternal dan internal
  INGGRIS (1775)􀃆saat terjadi wabah pes 􀃆suatu
        cabang ilmu kedokteran yang mengobati wabah
        (epidemi dan logos)
  HIRSCH (1883) 􀃆Gambaran kejadian, penyebaran jenis‐
       jenis penyakit pada manusia saat tertentu di berbagai tempat di
       bumi dan mengaitkan dengan kondisi eksternal.
  FROST(1927) 􀃆Ilmu yang mempelajari
       fenomena masal dari penyakit infeksi.
 GREENWOOD (1934) 􀃆Pengetahuan tentang penyebaran (distribusi) penyakit atau kondisi  
       dalam suatu populasi dan faktor‐faktor yang mempengaruhi penyebaran tadi.
 MORIS (1967) 􀃆Pengetahuan tentang sehat dan sakit dari suatu penduduk.
 Taylor (1967) 􀃆Studi tentang sehat dan penyakit dari suatu populasi tertentu.
 MACMAHON, PUGH & IPSEN (1970) 􀃆Studi tentang penyebaran dan penyebab frekuensi 
       penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi seperti itu.
ABDEL R OMRAN (1974) 􀃆Studi dari berbagai peristiwa diantara kelompok di masayarakat.
       Epi= pada demos= masyarakat logos= ilmu/ pengetahuan
       Epidemiologi : suatu studi tentang kejadian di masyarakat.

 LAST (1988)􀃆Ilmu tentang distribusi dan determinan –determinan dari keadaan atau kejadian yang 
        berhubungan dengan kesehatan di dalam populasi tertentu, serta penerapannya untuk 
        mengendalikan masalah‐masalah kesehatan.
 EPIDEMIOLOGI 􀃆
        THE STUDY OF THE DISTRIBUTION AND DETERMINANTS OF HEALTH-RELATED STATES OR EVENTS IN SPECIFIED POPULATIONS, AND THE APPLICATION OF THIS STUDY TO CONTROL OF HEALTH PROBLEMS (Last, 1988)

Ilmu tentang distribusi dan determinan-determinan dari keadaan atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan di dalam populasi tertentu, serta penerapan dari ilmu ini guna mengendalikan masalah-masalah kesehatan

RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT (NATURAL HISTORY OF DISEASE)

Perkembangan secara alamiah suatu penyakit (tanpa intervensi/ campur tangan medis) sehingga suatu penyakit berlangsung secara natural.
PROSES PERJALANAN PENYAKIT SECARA UMUM DAPAT DIBEDAKAN ATAS :
1. Tahap Pre Patogenesis (Stage of Susceptibility)
2. Tahap Inkubasi (Stage of Presymtomatic Disease)
3. Tahap Penyakit Dini (Stage of Clinical Disease)
4. Tahap Penyakit Lanjut
5. Tahap Akhir Penyakit

RIWAYAT ALAMIAH PROSES TERJADINYA PENYAKIT PADA MANUSIA
   Fase pra‐patogenesis
   Interaksi Penyebab,Pejamu & Lingkungan 􀃆Stimulus
   Sebelum Org Mulai Sakit
   Interaksi
   PENYEBAB PEJAMU
   PenyakitManusia
   Faktor Lingk􀃆Stimulus Penyakit

   Fase Patogenesis
􀃆
   Reaksi PEJAMU thd STIMULUS
􀃆
   Patogenesis Dini 􀃆Perub. Dini yg msh kecil􀃆Penyakit lanjut 􀃆Penyembuhan􀃆
   Proses penyakit dalam badan manusia
   Peny. Lanjut Kematian
   Peny. Dini Penyembhn KronisKetdkmampuan
   HORISON
   KLINIS Pemulihan
   Patogenesis
   Dini
  Interaksi
  PEJAMU & STIMULUS

1. TAHAP PRE PATOGENESIS (Stage of Susceptibility)􀃆Terjadi interaksi antara host –bibit penyakit –lingkungan , interaksi di luar tubuh manusia

Penyakit belum ditemukan􀃆daya tahan tubuh host masih kuat, 􀃆sudah terancam dengan adanya interaksi tersebut. (tahap ini kondisi masih sehat)
2. TAHAP INKUBASI(Stage Of Presymtomatic Disease)
􀃆Bibit penyakit sudah masuk ke dalam tubuh host,
gejala penyakit belum nampak. Tiap penyakit
mempunyai masa inkubasi berbeda‐beda 􀃆
beberapa jam, hari, minggu, bulan sampai
bertahun‐tahun

TAHAP INKUBASI : Dimulai dari masuknya bibit penyakit sampai sesaat sebelum timbulnya gejala.

􀃆Daya tahan tubuh tidak kuat, penyakit berjalan
terus 􀃆terjadi gangguan pada bentuk dan
fungsi tubuh, 􀃆penyakit makin bertambah
hebat dan timbul gejala.
HORISON KLINIK:
Garis yang membatasi antara tampak atau
tidaknya gejala penyakit

3. TAHAP PENYAKIT DINI (Stage of Clinical Disease)
Dihitung dari munculnya gejala penyakit.

Tahap ini pejamu sudah merasa sakit (masih ringan)􀃆penderita masih dapat melakukan aktifitas(tidak berobat)

Perawatan 􀃆
Cukup dengan obat jalan 􀃆menjadi masalah besar dunia kesehatan (jika tingkat pengetahuan & pendidikan masyarakat rendah)􀃆mendatangkan masalah lanjutan
yang makin besar 􀃆Penyakit makin parah 􀃆berobat memerlukan perawatan relatif mahal.

Akibat lain 􀃆bahaya masyarakat luas 􀃆menularkan kepada orang lain dan dapat menimbulkan KLB atau wabah.

4. TAHAP PENYAKIT LANJUT

Penyakit makin bertambah hebat

Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan

Jika berobat umumnya telah memerlukan perawatan (bad rest).

5.TAHAP AKHIR PENYAKIT

Perjalanan penyakit akan berhenti.

Berakhirnya perjalanan penyakit 􀃆beberapa keadaan yaitu :
a. Sembuh sempurna􀃆baik bentuk dan fungsi tubuh kembali semula seperti keadaan sebelum sakit
b. Sembuh dengan cacat 􀃆
    Penderita sembuh 􀃆kesembuhan tidak sempurna
􀃆ditemukan cacat pada pejamu. Kondisi cacat 􀃆
    cacat fisik, fungsional dan sosial.
c. Karier
    Perjalanan penyakit seolah‐olah terhenti 􀃆gejala
    penyakit tidak tampak (dalam diri pejamu masih
   ditemukan bibit penyakit) 􀃆suatu saat penyakit
   dapat timbul kembali (daya tahan tubuh menurun)
d. KRONISPerjalanan penyakit tampak berhenti 􀃆gejala penyakit tidak berubah􀃆tidak bertambah  
    berat ataupun ringan
e. MENINGGAL DUNIA􀃆
   Terhentinya perjalanan penyakit 􀃆pejamu meninggal
   dunia.(keadaan yang tidak diharapkan)

INFORMASI RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT BERMANFAAT
UNTUK :
- Diagnostik : Masa inkubasi 􀃆pedoman penentuan jenis penyakit
- Pencegahan: Mengetahui rantai perjalanan penyakit 􀃆mudah dicari titik potong yg penting dalam
  upaya pencegahan penyakit
- Terapi : fase paling awal, lebih awal diberikan lebih baik hasil yang diharapkan.

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT PES

MASA PRA –KESAKITAN
Sebelum Manusia Sakit
Agen Penyakit Inang
Yersinia pestis manuasia
(kokobasil)
Gram (‐)
Fam. EnterobacteriaceaeFaktor lingkungan
Tikus terinfeksi
pinjal tikus

MASA KESAKITAN PERJALANAN PENYAKIT PADA MANUSIA HORISON KLINIS
KESAKITAN DINI
- Timbul papula (benjolan kecil pada kulit
- Pustula (benjolan permukaan kulit bernanah)
- Karbunkel (bisul, bisul besar, radan pd folikel rambut & sekitarnya mjd satu/ tdk menunjukkan
  reaksi jar setempat)
- Penyebaran daerah kulit 􀃆petekie (bintik merak akibat perdarahan intra dermel/ submukosa,
  vaskulitis (radang pembuluh darah) & perdarahan krn trombositopenia (jml trombosit < normal)
KESAKITAN DINI YANG MULAI NAMPAKBerdasar Aspek klinis, dibedakan beberapa type :
1.Type Bubonik
   * Panas (> 41oC)
   * Bubo (pembesaran, radang suparatif
      kelenjar limfe) daerah inguinal (lipat paha)/
      femoral (kaitan femur)/ aksila (ketiak)/
      servical (leher)
   * Takikardi (denyut jantung cepat > 100/mnt
2. Type Meningeal
     * Komplikasi type bubonic tjd pd hr ke 7 –9
     * Sakit kepala
3.Type Pneumonik (Radang Paru)
   * Lemah Badan
   * Sakit Kepala
   * Vomitus (muntah)
4.Type Septikemik
   * Pucat
   * Lemah
5.Type Kutaneal
   * Papula (penonjolan kecil pada kulit)
   * Pustula ( Penonjolan permukaan kulit berisi nanah)
   * Karbunkel(bisul besar, radang pada folikel rambut)

KESAKITAN LANJUT

Type 1. Bubonik
     * Konvulsi ( kejang)sampai koma
     * Konstipasi/ diare
     * Koagulasi (proses pembekuan)intra vascular
Type 2. Meningeal
     * Neck stiffnes ( kekakuan leher)
     * Tanda kernig (otot betis nyeri bila tungkai
        bawah di luruskan) positif berlanjut dengan
        konvulsi (kejang) & koma.
Type 3. Pneumonik
      * Febris (demam) & frustasi
      * Batuk, Sesak nafas
      * Muntah desertai sputum produktif & cair
      * Ganguan Kesadaran
Type 4. Septikemik
       * Delirium (keadaan eksitasi mental & motoris
          pada kesadaran menurun) atau stupor (kesadaran
          menurun) sampai koma.
       * Gejala febris (demam)
       * Kenaikan suhu badan terjadi ringan
Type 5. Kutaneal
      - Purpura(perdarahan multipel dalam dalam kulit/ selaput lendir) meluas menjadi nekrotik
        (kematian sel/ jaringan akibat kerusakan sel/ jaringan)
      - Berlanjut menjadi ganggreng(kematian jar.
        diikuti infeksi bakteri & pembusukan) daerah
        tungkai & menimbulkan kehitam‐hitaman (black death)

TAHAP AKHIR PENYAKIT PES PADA MANUSIA

Type 1.
     * Kegagalan faal jantung
     * Kematian
Type 2.
     * Kematian
Type 3.
     * Meninggal pada hari ke 4 dan 5
Type 4.
     * meninggal hari pertama 􀃆3 setelah timbul gejala fibris
Type 5.
     * Kematian.

UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT (Level of Prevention)

Mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian􀃆
langkah‐langkah didasarkan 􀃆data/ keterangan bersumber hasil analisis/ pengamatan/ penelitian epidemiologi.

PENCEGAHAN
- > 3 : Primer, Sekunder & Tertier
->  5 (Five Level Of Prevention) :
     * Health promotion(Upaya promosi Kesehatan)
     * Specific protection(Upaya proteksi Kesehatan )
     * Early diagnosis and promt treatment
      (Upaya diagnosis dini & tindakan segera)
     * Disability limitation(Upaya pemberantasan akibat buruk)
     * Rehabilitation(Upaya pemulihan Kesehatan)

LEVEL OF PREVENTION UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT PES
 - Health promotion􀃆menghindari kemunculan dari/ adanya faktor resiko
- Masa Pra‐Kesakitan
- UPAYA PROMOSI KESEHATAN :
  1. Penyuluhan penduduk 􀃆meningkatkan
      kesadaran terhadap kesehatan lingkungan
  2. Perbaikan rumah penduduk 􀃆tidak mudah
      menjadi sarang tikus
  3. Pengendalian terhadap tikus dan pinjal
  4. Pengendalian terhadap tikus
     * mengatur waktu tanam
     * perbaikan sanitasi lingkungan
     * gropyokan, fumigasi dan trapping
     * menggunakan rodentisida
     * pengendalian biologis
     * alat perekat
  5. Pemberantasan Pinjal :
     * survey rodent dan pinjal
     * survey epidemiologi
     * Insektisida
     * perbaikan sanitasi
     * Rat proofing 􀃆memperbaiki
        bangunan rumah

SPECIFIK PROTECTION

       Upaya Proteksi KesehatanBertujuan 􀃆mengurangi / menurunkan pengaruh penyebab serendah  mungkin
-  Vaksinasi penduduk daerah endemik, petugas laboratorium dan perawat kesehatan
   Dewasa 0,5 ml sub‐kutan
   1ml setelah 10 ‐28 hari
   Diulang setiap 6 bl 0,5 ml (Haffkin vaccine)
-  Pengobatanpencegahan petugas Kesehatan 􀃆Tetrasiklin 250 mg/ jam selam 1 minggu
-  Sulfonamik 2 gr/ hari selama 1 minggu
-  Sanitasi Lingkungan

 EARLY DIAGNOSIS AND PROMT TREATMENT

    Upaya diagnosis dini & tindakan segera
    - Ditujukan pada penderita/ dianggap menderia (suspect)/ terancam akan menderita
    - Penemuan Kasus segera lapor kepada Dinas Kesehatan setempat dalam waktu 24 jam sejak
      diketahui

DISABILITY LIMITATION
Upaya Pemberantasan akibat buruk(Pengobatan / Kurative)
- Mencegah meluasnya penyakit/ timbulnya wabah & proses penyakit lebih lanjut.
  * Isolasi 􀃆diduga terbukti menderita sampai
     yang bersangkutan dinyatakan
     sembuh/ Isolasi setelah 2 –4 hari
     mendapat antibiotika
- Pengobatan dengan antibiotik
  * Streptomisin 30 mg/ kg BB/ hari secara
     intramuscular 2 –4 x sehari.
     Untuk anak‐anak 20 –30 mg/ kg BB / hari
  * Tetrasiklin diberikan pada hari ke 4 selama
     10 –14 hari,
     Dosis loading 15 mg/ kg BB/ hari dlm 4 x
     pemberian sampai hari pengobatan 10 –14
     Pengobatan dengan antibiotik
- Kloramfenikol dosis 50 ‐75 mg/ kg BB/hari
  intravena 4 x pemberian selama 10 hari
- Trimetoprim –sulfametoksazol
- Sulfadiazin 12 g/ hari selama 4 ‐7 hari dosis
  awal 4 gdilanjutkan 2 g tiap jam sampai
  tercapai suhu badan normal,
  diteruskan 500 mg tiap 4 jam sampai
  hari 7–10.
  Penggunaan Sulfadiazuin disertai pemberian
  Sodium Bikarbonat

REHABILITATION
Upaya Pemulihan Kesehatan (rehabilitasi)
- Usaha untuk mencegah terjadinya akibat samping daripenyembuhan penyakit & pengembalian fungsi fisik, psikologik dan sosial.
   * Pemberian makanan yang cukup gizi
   * Sesuai dengan Type
     Contoh :
     Type Pneumonik 􀃆latihan pernafasan
     Type Meningeal 􀃆therapi pekerjaan
                                 sekuele ( gejala sisa)

TINGKATAN PENCEGAHAN SCR UMUM :

a. Pencegahan Primordial(Primordial prevention)
b. Pencehan tingkat pertama(Primary prevention)
    Promosi kesehatan dan pencegahan khusus
c. Pencegahan tingkat kedua(secondaryprevention)􀃆
    diagnosis dini serta pengobatan tepat.
d. Pencegahan tingkat ketiga(tertiary prevention) 􀃆pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.

a. PENCEGAHAN PRIMORDIAL
-  Tujuan : untuk menghindari kemunculan
    adanya faktor resiko
-   Memerlukan peraturan yang tegas dari yang berwenang 􀃆tidak melakukan hal‐hal yang beresiko 
     timbulnya penyakit tertentu
-   Contoh : Melarang menebang pohon 􀃆
     banjir 􀃆kejadian Diare
b. PENCEGAHAN TINGKAT PERTAMA (Primary Prevention)
-   Sasaran 􀃆Faktor penyebab, Lingkungan & Pejamu
    Penyebab 􀃆menurunkan pengaruh serendah mungkin
    (desinfeksi, pasteurisasi, strerilisasi, penyemprotan
    insektisida) 􀃆memutus rantai penularan.
    Lingkungan 􀃆perbaikan lingkungan fisik 􀃆air bersih, sanitasi
    lingkungan & perumahan, dll
    Pejamu 􀃆perbaikan status gizi, status kesehatan, pemberian
    imunisasi

c. PENCEGAHAN TINGKAT KEDUA (Secondary Prevention)
   Sasaran _ pada penderia / dianggap menderita
                  (suspect) & terancam menderita
   Tujuan : diagnosis dini & pengobatan tepat(mencegah meluasnya penyakit/
                 timbulnya wabah & proses penyaki lebih lanjut/ akibat samping & komplikasi)
    Usaha 􀃆pencarian penderita, pemeriksaan CPN, pemberian chemoprophylakxis(Prepatogenesis /  
    patogenesis penyakit tertentu.

d. PENCEGAHAN TINGKAT KETIGA(Tertiary Prevention)
    Sasaran _ penderita penyakit tertentu
    Tujuan_mencegah jangan sampa mengalami cacat & bertambah parahnya penyakit juga kematian
               dan rehabilitasi( pengembalia kondisi fisik/ medis, mental/psikologis & sosial)

KLASIFIKASI PENYAKIT􀃆

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN AKURASI DIAGNOSIS SETELAH MEMPELAJARI HASIL‐HASIL DARI BEBERAPA CARA PEMERIKSAAN :
PENGKLASIFIKASIAN 􀃆PENGELOMPOKAN

A.PENYAKIT MENULAR (INFEKSI)
    - Melalui air
    - Melalui udara
    - Melalui Kelamin
    - Melalui binatang
B. PENYAKIT NON INFEKSI (TDK MENULAR)
     - Penyakit jantung
     - Penyakit kanker
     - Penyakit Metabolik

KLASIFIKASI PENYAKIT MENURUT ICD (International Classification Of Desease)
1984 WHO 􀃆Pedoman KP & No Kode setiap penyakit
17 Kelompok Utama menurut ICD

17 KELOMPOK UTAMA PENYAKIT MENURUT ICD

1.Penyakit infeksi & parasit
2.Neoplasma
3.Penyakit endokrin, nutrisi & metabolik dan gangguaan imunitas
4.Penyakit darah & organ pembuluh darah
5.Gangguan mental
6.Sistem saraf dan alat indra
7.Sistem peredaran darah
8.Sistem pernafasan
9.Sistem pencernakan
10.Sistem Kencing dan kelamin
11.Komplikasi Kehamilan, persalinan & nifas
12.Kulit dan jaringan bawah kulit
13.Sistem otot rangka dan jaringan ikat
14.Kelainan bawaan
15.Keadaan tertentu dari masa perinatal
16.Gejala, tanda & keadaan tidak jelas
17.Cedera dan keracunan

Pengelompokan menurut ICD IX 􀃆Kode tertentu :

3 digit pertama 􀃆Kode kelompok Utama
3 digit berikut 􀃆Nomor untuk sub kelompok

AKHIR 1992 􀃆ICD Rev.X tdk sama ICD IX.
ICD X lebih sederhana 􀃆ICD IX
     Misal : Kode untuk gol. Penyakit Sirkulasi 􀃆
               Kode I ( huruf I)
     Contoh : Kode ICD X 􀃆
     Deseases of the Circulatory sistem (100‐199).

PENGERTIAN PENYAKIT MENULAR & TIDAK MENULAR

- Penyakit Menular :
  Suatu keadaan sakit yang disebabkan
  oleh suatu mikroorganisme/ racun yang
  dikeluarkan, ditularkan secara langsung /
  melalui perantara.
  Hubungan : Host‐Agent–Lingkungan
- Penyakit Non Menular :
  Dalam proses perkembangan penyakit tidak ditemukan Agent Biologis yg jelas.

Jurnal Epidemiologi (Pengaruh variasi gen CYP2A6 terhadap BBLR)

Abstrak (Latar Belakang). Pajanan asap rokok terhadap ibu hamil, adanya variasi  gen cyp2a6 dan faktor risiko lain berpengaruh buruk bagi kejadian BBLR.

 Tujuan penelitian untuk menganalisis  risiko asap rokok, variasi gen cyp2a6 dan risiko faktor lain  terhadap BBLR.  

Metode  Penelitian observasional dengan  rancangan studi kasus kelola. Subyek kasus, bayi yang lahir berat kurang 2500 gr, kelompok  kontrol  adalah  bayi berat  ≥ 2500 gr, jumlah sampel kasus dan kontrol masing-masing 57 sampel. Analisis dengan uji odds ratio. 

Hasil penelitian, jumlah rokok yang diisap suami  berisiko 3 kali lebih besar bagi isterinya untuk melahirkan BBLR (p=0.02), Ibu  dengan Plasenta ringan berisiko melahirkan BBLR  sebesar  43 kali (p=0.00). Ibu dengan ANC yang tidak teratur berisiko melahirkan bblr 3 kali lebih besar. Variasi gen cyp2a6 merupakan faktor risiko terhadap plasenta ringan  dan BBLR  dengan OR 5.09 95%CI.2.29-11.29 dan OR.9.47 95%CI. 4.03-22.27.  

Saran suami perokok segera menghentikan merokok, ibu hamil  menghindari asap rokok, mengatur jarak kehamilan,  mengontrol ANC  selama kehamilan, dan waspada bila terdapat variasi gen cyp2a6.Kata kunci : BBLR, asap rokok,  plasenta, gen cyp2a6. 

 Abstractbackground. Cigarette smoke exposure towards pregnant mother, gene variation existence cyp2a6 and risk factor other bad influential for insident  lbw. Research aim to analyze cigarette smoke risk, gene variation cyp2a6 and factor risk other towards lbw. Design research, method observasional with case  control. Case subject, baby that born heavy less 2500 gr, control group heavy baby? 2500 gr, case sample total and control each 57 samples. Analysis with test odds ratio. Result, cigarette total that sucked husband  have risk 3 bigger times for the wife to give birth to  lbw (p=0.02), mother with light placenta berisiko gives bblr as big as 43 times (p=0.00). mother with anc not regular  have risk  birth to  lbw 3 bigger times. Gene variation cyp2a6 be risk factor towards lbw with OR. 9.47 95%c CI. 4.03-22.27. smoker husband suggestion soon stop to smoke, pregnant mother avoids cigarette smoke, regulate pregnancy distance, controls anc during pregnancy,  and observant when found gene variation cyp2a6. Key word : LBW, smoke, placenta, gene cyp2a6  

Jumat, 04 Maret 2011

ASKEP HIDROSEFALUS



HIDROSEFALUS


I.   Pengertian
          Hidrocephalus adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh produksi yang tidak seimbang dan penyerapan dari cairan cerebrospinal (CSF) di dalam sistem ventricular. Ketika  produksi CSF lebih besar dari penyerapan, cairan cerebrospinal terakumulasi di dalam sistem ventricular.

II.       Penyebab
Penyebab dari hidrosefalus adalah :
·      Kelainan bawaan (konginetal)
·      Infeksi
·      Neoplasma
·      Perdarahan.

III.     Jenis Hidrosefalus
·      Hidrosefalus Non Komunikan (tipe tak berhubungan ):
     Terjadinya obstruksi pada aliran cairan serebrospinal.
·      Hidrosefalus Komunikan (tipe berhubungan ) :
Kegagalan absorbsi cairan serebro spinal.

IV.         Patofisiologi

                        Produksi CSS ↑                                Absorbsi ↓
                                                                   -   Post infeksi: Meningitis    
                                                                   -   Tumor space occupying      
Penumpukan cairan (CSS)dalam ventrikel otak secara aktif
(Hidrosefalus )


 


                    Penatalaksanan              Obstruksi aliran pada shunt  diventrikel otak

               Pemasangan VP Shunt                       Peningkatan Volume CSS

                      Immobilisasi         Resiko Infeksi                TIK ↑

           Gangguan integritas kulit                                  
Keterangan:
·      Penyumbatan aliran CCS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam rongga subaracnoid → dilatasi ruangan CSS di atasnya (foramen Monroe, foramen Luschka dan Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis) → Hidrosefalus
·      Pembentukan CSS yang berlebihan dengan kecepatan absorbsi yang normal → Hidrosefalus.

V.       Pengkajian.
A.  Anamnesa.
1.         Insiden hidrosefalus: 5,8 per 10.000 kelahiran hidup
·      Hidrosefalus dengan spinabifida terdapat kira-kira 3-4 per 1000 kelahiran hidup
·      Type hidrosefalus obstruksi terdapat  99 % kasus pada anak-anak.
2.         Riwayat kesehatan masa lalu:
·      Terutama adanya riwayat luka/trauma kepala atau infeksi serebral
3.         Riwayat kehamilan dan persalinan :
·      Kelahiran yang prematur
·      Neonatal meningitis
·      Perdarahan subaracnoid
·      Infeksi intra uterin
·      Perdarahan perinatal, trauma/cidera persalinan.
B.            Pemeriksaan Fisik
·      Biasanya adanya myelomeningocele, pengukuran lingkar kepala (Occipitifrontal)
·      Pada hidrosefalus didapatkan :
v   Tanda-tanda awal:
o         Mata juling
o         Sakit kepala
o         Lekas marah
o         Lesu
o         Menangis jika digendong dan diam bila berbaring
o         Mual dan muntah yang proyektil
o         Melihat kembar
o         Ataksia
o         Perkembangan yang berlangsung lambat
o         Pupil edema
o         Respon pupil terhadap cahaya lambat dan tidak sama
o         Biasanya diikuti: perubahan tingkat kesadaran, opistotonus dan spastik pada ekstremitas bawah
o         Kesulitan dalam pemberian makanan dan menelan
o         Gangguan cardio pulmoner
v   Tanda-tanda selanjutnya:
o         Nyeri kepala diikuti dengan muntah-muntah
o         Pupil edema
o         Strabismus
o         Peningkatan tekanan darah
o         Denyut nadi lambat
o         Gangguan respirasi
o         Kejang
o         Letargi
o         Muntah
o         Tanda-tanda ekstrapiramidal/ataksia
o         Lekas marah
o         Lesu
o         Apatis
o         Kebingungan
o         Sering kali inkoheren
o         Kebutaaan
C.            Pemeriksaan Penunjang
§               Skan temografi komputer (CT-Scan) mempertegas adanya dilatasi ventrikel dan membantu dalam mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya (neoplasma, kista, malformasi konginetal atau perdarahan intra kranial)
§               Pungsi ventrikel  kadang digunakan untuk mengukur tekanan intra kranial, mengambil cairan serebrospinal untuk kultur (aturan ditentukan untuk pengulangan pengaliran).
§               EEG: untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik
§               Transluminasi: untuk mengetahui adanya kelainan dalam kepala
§               MRI (Magnetik Resonance Imaging): memberi informasi mengenai struktur otak tanpa kena radiasi


D.            Penatalaksanaan Medis.
          Pasang pirau untuk mengeluarkan kelebihan CSS dari ventrikel lateral kebagian ekstrakranial (biasanya peritonium untuk bayi dan anak-anak atau atrium pada remaja ) dimana hal tersebut dapat direabsorbsi      
  
VI.    Diagnosa keperawatan, Intervensi dan Rasional.
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional

1.























2.

















3.

Risiko perubahan integritas kulit ke-pala b/d ketidak-mampuan bayi da-lam mengerakan kepala akibat pe-ningkatan ukuran dan berat kepala
















Perubahan fungsi keluarga  b/d situasi krisis (anak dalam catat fisik)














Resiko tinggi terjadi cidera b/d peningkatan tekanan intra kranial




















Tidak terjadi gangguan in-tegritas kulit.
Kriteria:
Kulit utuh, ber-sih dan kering.


















Keluarga mene-rima keadaan anaknya, mam-pu menjelas-kan keadaan penderita.
Kriteria:
-  Keluarga ber-partisipasi da-lam merawat anaknya
-  Secara verbal keluarga da-pat mengerti tentang penya-kit anaknya.


Tidak terjadi pe-ningkatan TIK Kriteria:
Tanda vital da-lam batas nor-mal, pola nafas efektif, reflek cahaya positif, tidak tejadi gangguan kesa-daran, tidak muntah dan ti-dak kejang.

§     Kaji kulit kepala setiap 2 jam dan monitor terhadap area yang terte-kan
§     Ubah posisi tiap 2 jam dapat di-pertimbangkan untuk mengubah poisisi kepala se-tiap jam.
§     Hindari tidak adanya linen pa-da tempat tidur
§     Baringkan kepa-la pada bantal karet busa atau menggunakan tempat tidur air jika mungkin.
§     Berikan nutrisi se-suai kebutuhan.


§     Jelaskan secara rinci tentang kon-disi klien, prose-dur terapi dan prognosanya.
§     Ulangi penjelas-an tersebut  bila perlu dengan contoh bila keluarga belum mengerti
§     Klarifikasi kesa-lahan asumsi  dan misinterpretasi
§     Berikan kesem-patan keluarga untuk bertanya.

§     Observasi ketat tanda-tanda pe-ningkatan TIK
§     Tentukan skala coma


§     Hindari pema-sangan infus di kepala
§     Hindari sedasi


§     Jangan sekali-kali memijat atau memompa shunt untuk memeriksa fungsinya

§     Ajari keluarga mengenai tanda-tanda pening-katan TIK


§     Untuk memantau keadaan integumen kulit secara dini.


§     Untuk meningkat-kan sirkulasi kulit.




§     Linen dapat menye-rap keringat sehing-ga kulit tetap kering
§     Untuk mengurangi tekanan yang me-nyebabkan stres me-kanik.


§     Jaringan mudah nekrosis bila kalori dan protein kurang.

§     Pengetahuan dapat mempersiapkan keluarga dalam merawat penderita.

§     Keluarga dapat menerima seluruh informasi agar tidak menimbulkan salah persepsi

§     Untuk menghindari salah persepsi

§     Keluarga dapat mengemukakan pe-rasaannya

§     Untuk mengetahui secara dini pe-ningkatan TIK
§     Penurunan kesadar-an menandakakan adanya peningkatan TIK
§     Mencegah terjadi infeksi sistemik

§     Tingkat kesadaran merupakan indika-tor peningkatan TIK
§     Dapat mengakibat-kan sumbatan sehing-ga terjadi pening-katan CSS atau obtruksi pada ujung kateter di peritonial.
§     Keluarga dapat ber-patisipasi dalam pe-rawatan klien anak  hidrosefalus.


Daftar Pustaka

Whaley  and Wong  ( 1995 ), Nursing Care of infants and children, St.Louis : Mosby year Book

Doenges M.E, ( 1999), Rencana Asuhan keperawtan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien,  EGC, Jakarta

Lynda Juall Carpenito, ( 2000)  Buku Saku : Diagnosa Keperawatan,  Ed.8, EGC, Jakarta

Soetomenggolo,T.S . Imael .S , ( 1999 ), Neorologi  anak, Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta