Sindrom HELLP merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver function, dan Low Platelet count. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus perabdominam. Patogenesis sindrom HELLP masih belum jelas. Diagnosis dini sangat penting ditegakkan karena morbiditas dan mortalitas penyakit ini tergolong tinggi, sekitar 25 persen. Kadar trombosit yang rendah menjadi indikator yang sensitif dalam penegakan diagnosis sindrom HELLP. Uji D-dimer bisa menjadi alat identifikasi yang penting untuk menunjukkan tanda awal sindrom HELLP pada pasien preeklamsia. Terapi untuk pasien sindrom HELLP merupakan manajemen suportif meliputi profilaksis kejang (eklampsia) dan kontol tekanan darah pada pasien dengan hipertensi. Pasien dengan kehamilan preterm dilakukan terapi konservatif, sedangkan pasien aterm merupakan indikasi untuk terminasi. Beberapa pasien memerlukan transfusi produk darah, sebagian lagi sangat responsif dengan terapi kortikosteroid.
Hipertensi sejak hamil pertama
Seorang wanita hamil berusia 27 tahun (G2P1A0) mengeluh sesak napas satu hari sebelum ke Rumah Sakit Umum (RSU). Saat itu ia mengeluh nyeri ulu hati, namun kaki tidak bengkak, tidak nyeri kepala, pandangan tidak kabur, tidak keluar lendir atau darah, tidak mual, dan tidak muntah. Diduga ia telah diduga menderita sindrom HELLP oleh dokter kandungan setempat namun karena keterbatasan alat pemeriksaan, ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dengan diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD) dari hasil USG. Di sana ia telah mendapat terapi asam traneksamat, deksametaon, ceftriaxone, digoksin, aspirin, dan regimen antihipertensi.
Karyawan pabrik yang sehari-hari bekerja di kawasan industri ini tengah hamil 25-26 minggu dan sejak awal kehamilan sang ibu sudah dinyatakan menderita ‘darah tinggi’ oleh dokter yang memeriksakan perawatan antenatal. Tekanan darahnya saat ini berkisar 130/90 mmHg (sudah mengkonsumsi obat antihipertensi). Hari pertama haid terakhirnya sesuai dengan perkiraan usia kehamilan melalui USG. Ia juga telah memiliki riwayat hipertensi pada kehamilannya yang pertama.
Janin telah mati
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tampak pucat namun tidak sesak, tekanan darah 180/110 mmHg dan suhu 36.50C. Terdengar bunyi jantung gallop (S4), perut membuncit esuai kehamilan, dan ekstremitas yang tidak edema. Pemeriksaan obstetri menunjukkan tinggi fundus uteri 15 cm, vulva dan uretra tenang, porsio licin, merah, tidak ada fluor albus dan fluxus. Porsio kenyal ke arah belakang dengan panjang 2 cm, kepala pada H1, dan protein stick menunjukkan angka +2. Pemeriksaan USG menunjukkan presentasi janin kepala tunggal tanpa ada denyut jantung janin dan telah terdapat spalding sign. Di RSUPN ia didiagnosis ulang sebagai sindrom HELLP akibat preeklamsia berat (PEB).
Saat itu juga ia direncanakan untuk cek darah perifer lengkap (DPL), urinalisis lengkap (UL), gula darah sewaktu (GDS), enzim transaminase (SGOT/SGPT), dan laktat dehidrogenase (LDH) ulang. Dicek pula elektrokardiografi (EKG), asam urat, ureum, kreatinin, albumin, elektrolit, fibrinogen, dan d-dimer. Perawatannya terpadu antara dokter obstetri ginekologi dengan konsultasi dokter kardiologi dan dokter mata.
Rencana terapi yang utama ialah terminasi pervaginam untuk menghentikan hipertensi dengan perangsang misoprostol (4x50 mg) dengan folley cathether. Selalu dilakukan pengawawan tanda vital dan tanda-tanda perburukan. Kepalanya dielevasi 300 dan dimasukkan bolus MgSO4 4 gram dilanjutkan drip 1 gr/jam dalam 24 jam. Obat yang dipakai ialah ISDN 3x10 mg (dosis maksimal 80 mg) dengan selalu dilakukan pengawasan tekanan darah ditambah vitamin C sebanyak 2x400 mg perhari. Deksametason tetap diberikan 10 mg dua kali sehari, serta pemberian antibiotik Amoxicillin 3x500 mg.
Usai dicek, erdapat penurunan hematokrit, leukositosis, trombositopenia, serta kadar fibrinogen dan D-dimer yang tinggi. Hasil tes urin menunjukkan sedimen leukosit, eritrosit, proteinuria, dan hemoglobinuria. Hasil tes fungsi hati menunjukkan peningkatan signifikan (SGOT, SGPT, dan LDH) disertai hipoalbuminemia. Hemoglobin makin hari makin turun (8,2 g/mL). Leukositosis tetap terdeteksi dalam nilai 24.000/mm3. Trombosit terakhir 136.000/mm3. Hasil uji D-dimer meningkat tinggi (5,3), fibrinogen juga meningkat (642).
Setelah mengalami persalinan atas induksi oksitoksin secara spontan, keluar janin mati (IUFD) namun etelah itu tekanan darah masih tidak terkontrol (160/100 mmHg). Setelah ditransfusi PRC pun konjungtiva masih pucat, akral dingin, dan masih ditemukan beberapa purpura pada ekstremitas.
Vasospasme kapiler paru
Wanita yang akhirnya berstatus P2A1 ini sudah mengalami kali kedua preeklamsia. Pada kehamilan yang pertama bayi dapat dilahirkan spontan cukup bulan. Namun kali kedua preeklamsia terjadi ketika usia kehamilan masih 24-25 minggu serta telah terdeteksi janin mati dalam kandungan dengan pemeriksaan denyut jantung janin dan USG. Dengan demikian dilakukan terminasi pervaginam dengan induksi prostaglandin-folley kateter dua hari SMRS dibarengi tata laksana kontrol tekanan darah dan pencegahan kejang. Preeklamsia yang makin berat terjadi pada kehamilan kedua masih tetap memungkinkan meskipun berdasarkan epidemiologi pasien tergolong di atas kurva normal. Faktor risiko preeklamsia ialah nullipara, gemelli, hamil dengan pasangan baru, keturunan preeklamsia dalam keluarga, serta berbagai penyakit metabolik (DM, hipertensi, penyakit ginjal).
Datang dengan keluhan sesak napas, diduga akibat vasospasme kapiler paru. Ditatalaksana di RSU secara suportif dan sudah tidak sesak ketika dirujuk ke RSUPN. Di RSUPN diduga (masih) edema paru dan dipastikan dengan konsul kardiologi yang ternyata menunjukkan hasil tidak ada tanda-tanda gagal jantung kiri, meskipun pada saat itu tertulis di status IGD terdapat gallop pada auskultasi jantung. Sampai pemantauan terakhir masih terdengar murmur dan click sistolik yang menandakan masih adanya hipertensi.
Gejala sindrom HELLP
makin jelas
Dari awal datang tidak mengeluh adanya kelainan frekuensi BAK dan BAB. Namun dikeluhkan warna urin menjadi lebih keruh, seperti air teh, dikonfirmasi dengan hasil tes urin (cito) yang menunjukkan sedimen eritrosit (14-16 LPB) serta hemoglobinuria 2+ disertai proteinuria 2+. Proteinuria positif disertai hipertensi, meskipun tidak terlihat edema difus, menjadikan pasien ini menyandang status preeklamsia. Dengan tensi inisial 180/110 mmHg, berdasarkan klasifikasi standar preeklamsia tergolong kategori preeklamsia berat.
Hasil uji kimia darah saat itu menunjukkan kadar ureum yang sedikit meningkat, peningkatan signifikan enzim hati yang dibarengi hipoalbuminemia. Seperti telah disebutkan, pasien tidak terlihat bengkak, kecuali pada regio pretibial. Asam urat masih dalam taraf normal, menunjukkan fungsi filtrasi glomerolus pasien belum terlalu terganggu.
Tidak ditemukan pandangan kabur pada pasien dan telah dikonfirmasi dengan hasil konsul bagian Mata dengan hasil tidak ditemukan papilledema. Ditambah dengan pemeriksaan refleks fisiologis patella yang normal, menunjang tidak ditemukan kelainan neurologis sehingga menunjukkan tidak adanya eklampsia3.
Adanya petekia dan purpura pada pasien menunjukkan efek preeklamsia telah menyebabkan koagulopati. Hasil darah perifer lengkap menunjukkan trombosit yang rendah (160.000/mm3). Tanda ini merupakan petanda klinis signifikan untuk kecurigaan sindrom HELLP dan thrombotic trombocytopenic purpura yang keduanya berbahaya bagi kehamilan. Dengan konfirmasi APTT yang dalam batas normal, sudah mampu menegakkan diagnosis perdarahan akibat murni rendahnya trombosit sebagai bagian dari sindrom HELLP. Ditambah dengan hasil peningkatan fungsi hati (transaminase) meski belum ditemui tanda hemolisis sudah mampu menegakkan diagnosis sindrom HELLP dengan klasifikasi parsial. selain itu, hemolisis memang merupakan petanda yang biasanya terakhir ditemukan pada pasien sindrom HELLP sehingga dapat menunjukkan bahwa keadaan pasien belum terlalu parah. Belakangan ditemui bahwa hemoglobin makin rendah, air seni pasien yang berubah warna seperti air teh, serta perdarahan yang makin banyak, diduga akibat hemolisis dan dapat dikategorikan sebagai sindrom HELLP total.
Perburukan penyakit
Saat datang pasien mengeluh nyeri ulu hati sebagai petanda kerusakan hati. Sebagai alat diagnostik lab, konfirmasi D-dimer kuantitatif dan kadar fibrinogen menunjukkan nilai yang tinggi (D-dimer=1,8 Fibrinogen=869). Dengan demikian, dapat disimpulkan telah terjadi nekrosis hepatoselular akibat vasospasme hepar. Lengkaplah penegakan diagnosis sindrom HELLP sebagai komplikasi preeklamsia berdasarkan kriteria dasar hemolisis, peningkatan aktivitas hati, trombosit yang rendah, serta tekanan darah yang tinggi.
Sebelum partus pasien telah mendapat terapi konservatif6 induksi secara mekanis dan kimiawi, antikejang pada 24 jam pertama, antioksidan Vit.C dan NAC (fluimucyl), antihipertensif, balans cairan dan kalori, kortikosteroid, dan antibiotik. Selain itu terapi yang paling penting ialah terminasi kehamilan.
Ternyata hingga dua hari pascapartus pasien tetap mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol (160/100 mmHg). Terapi antihipertensif terus dilanjutkan namun antioksidan telah dihentikan. Perdarahan makin banyak terjadi (spontan dari gusi) hingga Hb mencapai nilai 8,2 µg/L dan diputuskan untuk transfusi PRC 180 cc. Perdarahan ini kemungkinan akibat pemakaian heparin mikrodrip sebagai bagian dari tata laksana Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) untuk mencegah nekrosis hati. Kejadian perdarahan ini memang sering dilaporkan akibat dokter menggunakan heparin sebagai terapi pelebaran pembuluh darah. Meskipun heparin telah terbukti tidak memiliki efek yang signifikan untuk terapi preeklamsia7, namun tetap dipakai selama D-dimer kuantitatif pasien terus di atas nilai normal. D-dimer yang meningkat menunjukkan masih adanya tanda DIC. Sejauh ini pasien masih ditatalaksana puerperial terkontrol hingga perdarahan berhenti.
Hipertensi yang tak kunjung hilang pada pasien ini kemungkinan terjadi akibat inflamasi berlebih dari disfungsi endotel pascapreeklamsia. Leukosit terus menunjukkan peningkatan (27800/mm3). Kemungkinan selain penghentian antioksidan, memang pasien ini mengalami recovery endotel yang relatif lama. Umumnya hipertensi akan menyingkir pada 3-4 x 24 jam pascapartus pada pasien preeklamsia. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk menemukan penyebab prolong hypertension ini, mungkin antioksidan yang digunakan tidak sesuai dengan kelas radikal bebas pasien, mungkin terdapat penyakit metabolik yang tidak terdeteksi (misalnya prediabetes mellitus, dislipidemia familial, dll.), adanya acute renal failure, kegagalan sirkulasi jantung (masih terdengar murmur sistolik), atau memang terdapat kelainan pembuluh darah, mengingat hipertensi kali ini ialah hasil dari preeklamsia berulang.
Dengan demikian secara fungsi, prognosis pasien ini sudah relatif buruk –malam- karena masih memungkinkan adanya kemungkinan penyakit-penyakit lain yang menyebabkan kelainan pembuluh darah. Sementara secara vital, pasien ini juga belum tentu sembuh total, dubia ad bonam. Karena tata laksana konservatif hipertensi dan DIC telah dijalankan, sedang menunggu hasil, mudah-mudahan ia bisa hidup normal tanpa cacat jika keduanya dihilangkan. Adapun kekambuhan, statusnya bisa dikatakan dubia ad malam karena telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa preeklamsia, terutama yang berat, menjadi faktor risiko hipertensi menetap pada beberapa tahun kemudian. Ditambah adanya kemungkinan penyakit lain yang belum terdeteksi, kemungkinan hipertensi akan terjadi kembali meskipun bukan bermanifestasi sebagai preeklamsia.
Jangan sampai terulang
Pasien pada kasus ini mengalami sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver function, and Low Platelet count) sebagai komplikasi dari preeklamsia berat. Telah ditatalaksana dengan manajemen konservatif untuk kontrol tekanan darah serta telah dilakukan terminasi pervaginam atas induksi mekanik dan kimiawi. Kejadian menjadi serius karena justru terjadi DIC pascapartus, membuktikan bahwa disfungsi endotel terus berlangsung, ada kemungkinan akibat penyakit metabolik atau defek pembuluh darah yang tidak terdeteksi. Empat hari pascapartus hipertensi masih tidak terkontrol (160/100 mmHg) sehingga diduga terdapat penyakit lain yang harus ditelusuri lebih lanjut. Bisa jadi terdapat penyakit ginjal, kegagalan sirkulasi jantung, atau hipertensi primer dengan kausa yang belum ditemukan hingga sekarang. Saat ini terus dilakukan terapi kontrol tekanan darah disertai eksplorasi kemungkinan penyakit metabolik, sistemik, atau mungkin penyakit kronis yang belum terdeteksi. Manajemen dilakukan secara suportif, jika hipertensi terus muncul tanpa diketahui kausanya, kemungkinan adanya hipertensi menetap, diduga sebagai imbas dari preeklamsia yang pertama. Ia menjadi bukti masih rendahnya kualitas penanganan ibu hamil dengan hipertensi di pelbagai rumah sakit di Indonesia. Dengan mendukung program pemerintah untuk menurunkan AKI, diharapkan komplikasi berat seperti pada pasien di atas dapat diminimalisasi kejadiannyahttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_151_SindromHELLP.pdf/11_151_SindromHELLP.html